Senin, 09 Februari 2015

Musibah Membawa Hidayah

Bagi kebanyakan orang yang tidak sabar, musibah biasanya selalu membawa penderitaan dan kesengsaraan. Jarang sekali orang yang bisa mencapai kebahagiaan hidup, justru setelah mendapat musibah. Di antara yang sedikit itu, Yunis Sofiyah adalah salah satunya.

Ibu empat anak ini, setelah mendapat musibah, mengalami perubahan hidup yang sangat drastis. Dari kehidupan yang bergelimang kejahiliyahan, mantan wanita karier ini berubah 180 derajat menjadi Muslimah yang hidup di lautan hidayah. Dari orang yang tidak peduli dengan Islam menjadi orang yang berupaya memperjuangkan syariat Islam.

Kisahnya berawal dari sakitnya anak keempat Yunis, Siti Masyithoh, pada tahun 1996. Waktu itu, di usianya yang baru dua tahun, si bungsu ini menderita demam berdarah yang sangat parah yakni mencapai stadium empat. Tentu saja keadaan ini membuat Yunis sangat tertekan.

Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan anak yang sudah hampir sekarat itu. Tapi tim dokter yang menanganinya angkat tangan. “Memang secara logika kalau sudah sampai ke tingkat itu anak saya mustahil bisa hidup,” tutur mantan eksekutif muda di sebuah perusahaan asing itu.

Nah. Di saat-saat kritis itulah tiba-tiba muncul kesadaran dalam diri Yunis untuk bertobat meninggalkan dunianya. Di hadapan putri kesayangannya yang tengah koma di ruang ICU, Yunis bernazar, “Ya Allah, sembuhkanlah anakku. Aku akan taat mengabdi kepada-Mu, apapun yang Engkau perintahkan.”

Kontan saja Allah menyambut sumpah itu. Esoknya kondisi si kecil tiba-tiba berangsur pulih hingga akhirnya sembuh sama sekali. Betapa terharunya Yunis. Sebab tanpa pertolongan Allah tidak mungkin anaknya bisa sembuh. “Ini keajaiban,” katanya.

Sejak saat itu ditinggalkannya bisnis dan karier yang sudah susah payah dirintisnya. “Apalah artinya karier kalau hidup tidak bermakna,” kenang mantan direktris PT. Ratu Mandiri Utama itu.

Mulai saat itu pula dicampakkannya semua pakaian kesayangannya yang menampakkan aurat dan diganti dengan busana muslimah. Kerinduan Muslimah kelahiran Nganjuk untuk berislam secara utuh (kaffah) itu pun disambut Allah dengan memanggilnya ke tanah suci sampai dua kali. Bersyukur, sang suami, Sumarno Salim, mendukung hijrah Yunis itu.

Tekad Yunis untuk berubah total saat itu memang betul-betul kuat. Karena itu, setan tak membiarkan ia begitu saja mengubah haluan hidupnya. Ketika muncul krisis dan dolar melambung, ia tiba-tiba mendapat kekayaan melimpah. Depositonya yang disimpan dalam bentuk dolar meledak. “Saya hampir lupa dengan sumpah saya untuk terus mengabdi kepada Allah,” ungkap pebisnis ulung itu.

Untunglah Allah masih menyayanginya. Dan ia pun buru-buru sadar. “Ini ujian bagi saya, apakah saya akan memenuhi janji saya atau tidak,” tambah ibu berusia 43 tahun itu. Dari situ, kemudian dia mendirikan Yayasan Siti Masyithoh, lembaga yang menjadi penyalur sebagian kekayaannya untuk berbagai kegiatan sosial seperti majlis ta'lim, penyantunan yatim, dan jompo. Lembaga ini juga mengusahakan pemberdayaan ekonomi lemah melalui pemberian kredit modal ventura semi gratis.

Aktivitas sosial itu, belakangan membuat Yunis termotivasi lagi untuk kembali menekuni bisnis. “Tapi nggak seperti dulu yang cuma untuk kepentingan duniawi,” ungkap dermawati yang pernah nyantri di Pesantren Sembak-Grogol, Kediri itu.

Di tengah-tengah kesibukannya merawat puluhan anak yatim dari Maluku, Poso dan lain-lain, ia masih menyempatkan mengelola catering, restoran, kelompok bermain (play group) Islami, toko bunga dan sebuah perusahaan ekspor hasil laut.

Aktivitas politik pun tidak ketinggalan ia tekuni. Di era multi partai ini ia ikut aktif dalam Partai Masyumi pimpinan Abdullah Hehamahua. Di rumahnya di kawasan Kelapa Dua Wetan, Jakarta Timur, tamatan akademi sekretaris di Australia itu menerima Deka Kuniawan dari Sahid. Berikut petikan wawancaranya.

Apa yang mendorong Anda merealisasikan hijrah Anda dengan memelihara anak yatim?

Saya hanya menjalankan perintah Allah dalam Al-Quran. Orang yang tidak mau memelihara anak yatim dan tidak mau menyarankan untuk memelihara itu termasuk pendusta agama. Saya nggak mau masuk ke dalam golongan pendusta agama. Lagi pula saya juga kan dulunya anak yatim. Umur dua tahun sudah ditinggal ayah.

Saya prihatin sekarang ini banyak orang Islam yang tidak mau memelihara anak yatim. Padahal mereka mampu. Saya sudah berusaha mengajak mereka untuk sama-sama menyantuni anak-anak pengungsi dari Maluku, Poso dan lain-lain. Tapi mereka tidak mau. Ternyata yang mau bantu saya malah orang Yahudi Amerika. Saya mau didrop satu miliar, tapi karena saya khawatir, saya tolak. Mereka minta diekspos karena punya kepentingan. Nanti saya disangka mau menjual anak yatim. Saya sedih, masa Yahudi mau turun tangan keluar dana besar-besaran untuk menyelamatkan anak-anak Muslim, tapi mereka yang Muslim tidak berbuat sama sekali.

Dari mana Anda memperoleh pengetahuan tentang kewajiban-kewajiban Islam yang sedang Anda amalkan saat ini?

Saya belajar langsung dari Quran. Kan tinggal baca. Banyak buku tafsirnya juga. Saya juga banyak baca kitab-kitab hadist seperti Riyadush Shalihin, Shahih Bukhari, dan lain-lain. Saya baca buku apa saja tentang Islam misalnyaFiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Muslim Kaffah Teladan Ummat karya Musthafa Masyhur dan buku-buku Yusuf Qardhawi. Jadi saya belajar secara otodidak. Ayat-ayat dan hadits itu bukan cuma untuk dihapal, tapi untuk dihayati. Nah, saya berusaha menghayati itu semua. Kebetulan saya hobi baca.

Setelah hijrah, Anda banyak mengeluarkan harta. Anda merasa rugi?

Uang banyak tidak saya bawa ke kuburan, paling saya buat memberdayakan fakir miskin. Saya buat mereka cerdas, tidak kelaparan, aqidahnya kuat supaya tidak murtad. Paling saya buat untuk itu, tidak saya makan semua.

(Setelah mulai menggeluti bisnis kembali Yunis mengaku justru rizkinya lebih berkah. Salah satu mata usahanya, catering, misalnya makin berkembang pesat. Setelah mengelola di sebuah perusahaan swasta dan di RS Pertamina Jaya ia juga diminta untuk memasok ke RS Pertamina Pusat. Rupanya ia berani memberi menu lebih bergizi dengan harga yang tidak terlalu mahal. “Ini kan niatnya ibadah. Kalau saya bisa beri makanan bergizi, para pegawai itu bisa produktif,” ungkapnya.)

Setelah Hijrah Anda juga dikenal gigih menentang Kristenisasi, khususnya di daerah Anda. Apa latar belakangnya?

Dulu ketika bekerja di perusahaan asing saya pernah ditawari untuk jadi manejer asal saya sering ikut kebaktian. Walaupun dulu saya masih jahiliyah, saya punya komitmen juga terhadap Islam. Dulu banyak yang sudah sampai menjual aqidahnya di perusahaan itu. Itulah yang sangat memprihatinkan saya. Ini kesalahan kita semua sebagai ummat Islam yang diam saja melihat saudara kita terjerumus kepada kemurtadan. Istilahnya sudah mau tercebur ke neraka, tapi kok malah didiamkan. Tapi sekarang Alhamdulillah sudah tidak terdengar lagi.

Apakah aktivitas politik Anda di Partai Masyumi juga terkait dengan visi kemuslimahan Anda sekarang?

Politik itu tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Itu hanya sebagian kecil saja dari Islam. Ketika saya ingin masuk ke kancah politik tidak ada partai politik yang berani menerima saya, mungkin karena saya ngomongnya terlalu lurus-lurus saja, ceplas-ceplos apa adanya. Bagi saya berpolitik itu bukan kursi dan kekuasaan. Kekuasaan itu tidak ada apa-apanya. Kekuasaan hanya alat, senjata untuk memisahkan antara yang hak dan yang batil. Jangan dicampurkan antara yang hak dan yang batil, antara yang zholim dan yang adil. Sekarang semuanya kacau balau. Kalau saya misalnya mendapat kekuasaan itu, tidak bisa saya pergunakan untuk bersenang-senang.

Sejak kapan Anda mulai tertarik dengan politik?

Ya, baru-baru ini juga, bersamaan dengan tobat saya.

Mengapa Anda memilih Masyumi?

Mungkin bisa saja saya bikin partai sendiri, tapi sekarang ini susah cari orang yang bisa diajak kerja sama yang niatnya Lillahi Ta'ala, karena kebanyakan sekarang orientasinya dunia. Kebetulan secara ideologis saya cocok dengan Pak Abdullah Hehamahua.

Kapan Anda kenal dengan Pak Abdullah?

Kalau tidak salah ketika saya membagi-bagikan buku saya ini.

(Yunis menunjukkan buku sebuah buku kecil warna merah jambu. Buku yang ditulisnya tahun 1999 itu dicetak 50 ribu eksemplar dan dibagikan secara gratis semata-mata karena motivasi dakwah. Yunis bahkan berencana untuk mencetak buku kembali sampai jutaaan eksemplar).

Apa motivasi Anda menulis buku itu?

Kondisi bangsa ini sedang terancam dengan berbagai kezhalimannya. Saya ingin mengingatkan bagaimana negara ini supaya menjadi adil dan makmur. Ini perintah dalam Al-Quran. Saya tidak bisa menolak.

Anda punya bakat menulis juga ya?

Pernah juga dulu jadi juara lomba menulis di LIPI. Sebetulnya tulis menulis ini bukan bidang saya, tapi karena ada yang mendorong dari dalam saya bisa. Saya nulis buku ya baru ini saja. Kalau disuruh nulis lagi sekarang, mungkin tidak bisa.

Menyurati Soeharto

Kabarnya Anda pernah mengingatkan surat peringatan kepada Soeharto di saat ia berkuasa dahulu. Bisa Anda ceritakan kembali?

Sebetulnya saya hanya mengingatkan dia saja tentang kezholimannya dalam penggusuran tanah rakyat, dengan KKN-nya, dengan arogansinya. Itu sebelum dia jatuh. Saya merasa ini kewajiban. Sehingga saya berani mengingatkan dia. Tapi saya juga kan harus realistis, tidak punya kekuatan apa-apa. Makanya saya pakai strategi supaya identitas saya tidak ketahuan. Caranya dengan tidak meninggalkan sidik jari di seluruh bagian surat itu. Saya menulisnya dengan sarung tangan. Memposkannya pun tidak di kantor pos sekitar rumah saya. Bukannya takut. Tapi berhati-hati. Karena Soeharto kan zholim.

Apa latar Anda mengirim surat itu kepada dia?

Dulu saya sering lihat di rumah sakit, orang yang tidak punya uang ditolak, akhirnya meninggal di taksi. Dan itu justru terjadi di rumah sakit Islam. Belum lagi di tempat lain selalu terjadi diskriminasi terhadap kaum dhu'afa. Ada juga yang bunuh diri karena miskin. Bahkan banyak yang sampai menjual diri. Itu semua saya anggap sebagai ketidakmampuan Soeharto dalam memimpin negara, karena ketimpangannya terlalu besar.

Bagaimana dengan pemerintahan sekarang?

Sekarang ternyata juga sama saja, malah lebih parah lagi.

Anda tidak mengkritik GD seperti yang Anda lakukan terhadap Soeharto?

Belum. Tapi saya punya banyak data tentang kebobrokan pemerintahan sekarang. Terutama kasus-kasus KKN.

Mendukung Poligami

Dalam salah satu pidato Anda, Anda pernah menyatakan mendukung poligami serta sempat mempersilahkan suami Anda menjalaninya. Koq bisa?

Ya memang Islam sudah mengatur begitu. Itu kan hak suami. Karena hak, itu terserah suami. Hubungannya dengan Allah. Kalau suami itu sampai tidak adil hukumnya berat sekali.

Bagaiman prosesnya hingga Anda bisa menerima poligami itu?

Ya nggak ada prosesnya. Pokoknya setelah saya berusaha untuk patuh dengan syariat Allah, ketika ada aturan poligami, ya saya terima. Tadinya saya juga jelas tidak mau. Tapi kan saya sudah janji sama Allah. Jadi saya harus bisa menerima

Bagaimana sikap suami?

Biasa-biasa saja. Malah dia tidak mau karena khawatir tidak dapat syafaat Nabi lantaran takut tidak bisa berbuat adil. Padahal saya sudah suruh kalau dia mau. Ndak apa-apa, saya ndak masalah dia poligami.

Apa yang Anda rasakan setelah hijrah dan terjun dalam aktivitas keislaman saat ini?

Alhamdullah, nikmat. Misalnya saya disuruh kembali ke kehidupan jahiliyah dan dibayar dengan uang 10 triliyun pun saya tidak akan mau, karena sudah nikmat begini.

Apa obsesi Anda yang belum tercapai?

Obsesi saya, pokoknya syariat Islam harus tegak. Kalau tidak bisa tegak dan masih begini terus kondisi bangsa kita akan makin hancur. Saya sering bilang kepada kawan-kawan saya dari agama lain, jangan takut kalau syariat Islam tegak, karena itu justru bagus untuk mereka juga. Tidak ada korupsi lagi.

Selama menjalani aktivitas dakwah, apakah Anda menghadapi kendala?

Alhamdulillah saya banyak diberi kemudahan oleh Allah. Tidak ada hambatan yang terlalu berarti selama ini. Saya punya keyakinan, kalau kita punya niat untuk menjalankan perintah Allah, kita akan dimudahkan Allah.


[Deka Kurniawan, SHW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar